بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Shalat Berjamaah
Di antara syi’ar Islam yang agung adalah
shalat berjamaah. Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri dengan
dua puluh tujuh derajat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلَاةُ اَلْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ اَلْفَذِّ بِسَبْعٍ
وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat
sendiri dengan dua puluh tujuh derajat.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum shalat berjamaah
Shalat berjamaah hukumnya wajib
bagi setiap laki-laki yang sudah baligh (dewasa) dan mampu melakukannya, apabila
ia mendengar panggilan adzan. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya
adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (terj. Al
Baqarah: 43)
Adapun bagi wanita tidak wajib, kalau pun
mereka hendak ke masjid maka tidak mengapa, namun dengan syarat mereka tidak
mengundang fitnah (seperti melepas jilbab) dan tidak memakai wewangian. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا اِمَاءَ
اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلاَتٍ
“Janganlah kamu mencegah hamba-hamba Allah
yang perempuan mendatangi masjid Allah, dan hendaknya mereka keluar tanpa
mengenakan wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Namun shalat di rumah bagi wanita lebih
utama. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Dan (shalat) di rumahnya itu lebih baik bagi
mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Adab menghadiri shalat berjamaah
Dalam shalat berjamaah ada beberapa adab yang
perlu diperhatikan:
1. Memakai pakaian yang rapi dan indah. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
صَلىَّ أحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ أَنْ يُتَزَيَّنَ
لَهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka pakaialah kedua
pakaiannya, karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk berhias kepada-Nya.”
(Hasan, diriwayatkan oleh Thahawiy, Thabrani dan Baihaqi, lih. Silsilah Ash
Shahiihah 1369)
2. Keluar dari rumah dengan membaca doa. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
قَالَ يَعْنِي إِذَا خَرَجَ مِن بَيْتِهِ: بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى
اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إلِاّ بِاللَّهِ يُقَالَ لهُ: كُفِيْتَ وَوُقِيْتَ
وَتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ
“Barang siapa yang mengucapkan, yakni ketika keluar dari rumahnya
“Bismillahi …sampai illaa billah” (artinya “Dengan nama Allah,
aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan Allah”), maka akan dikatakan kepadanya, “Kamu telah dicukupi,
dilindungi dan akan dijauhi oleh setan.” (HR. Tirmidzi)
3. Berjalan kaki.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلَاةُ أَحَدِكُمْ فِي جَمَاعَةٍ
تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ وَبَيْتِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
وَذَلِكَ بِأَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى
الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ
يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا
خَطِيئَةٌ وَالْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ
الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ
يُحْدِثْ فِيهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ
“Shalat salah seorang di antara
kamu dengan berjamaah adalah melebihi shalat (sendiri) di pasar maupun di
rumahnya dengan 20 derajat lebih. Hal itu karena apabila di antara kamu berwudhu,
lalu memperbagus wudhunya, kemudian mendatangi masjid untuk shalat, hanya untuk
shalat saja ia datang, tidaklah ia melangkah satu langkah kecuali akan
ditiinggikan derajatnya atau digugurkan dosanya. Para
malaikat akan mendoakannya selama ia masih tetap di tempat shalatnya itu sambil
berkata, “Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, sayangilah dia.” Selama ia
belum berhadats dan tidak menyakiti (orang lain) di sana.” (HR. Bukhari)
Contoh menyakiti orang lain
adalah berkata ghibah (menggunjing) dan namimah (mengadu domba).
4. Membaca doa ketika berangkat ke masjid, yaitu dengan doa berikut:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِى قَلْبِى نُورًا وَفِى لِسَانِى نُورًا
وَاجْعَلْ فِى سَمْعِى نُورًا وَاجْعَلْ فِى بَصَرِى نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ
خَلْفِى نُورًا وَمِنْ أَمَامِى نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِى نُورًا وَمِنْ
تَحْتِى نُورًا . اللَّهُمَّ أَعْطِنِى نُورًا »
“Ya Allah, jadikanlah di hatiku cahaya, di
lisanku cahaya, pendengaranku cahaya, penglihatanku cahaya, di belakangku
cahaya, di depanku cahaya, di atasku cahaya, dan di bawahku cahaya. Ya Allah
berikanlah aku cahaya.” (HR. Muslim)
5. Tidak bertasybik (menganyam/memasukkan jari-jemari tangan kanan ke
jari-jemari tangan kiri). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِذَا تَوَضَّأَ اَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهَا ثُمَّ خَرَجَ
عَامِدًا اِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يُشَبِّكُنَّ بَيْنَ اَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فِي
صَلَاةٍ
“Apabila salah seorang di antara kamu
berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian berangkat ke masjid, maka
janganlah sekali-kali ia menganyam jari-jemarinya, karena ia (dianggap) dalam
shalat.” (Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud)
Tasybik juga dilarang bagi orang yang berada di masjid yang sedang
menunggu shalat berikutnya.
6. Tidak tergesa-gesa ketika berangkat ke masjid. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلىَ الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ
وَالْوَقَارُ وَلاَ تُسْرِعُوْا
“Apabila kamu mendengar iqamat (sudah dikumandangkan), maka
berjalanlah menuju shalat dengan tenang dan melakukan sikap yang pantas,
janganlah kamu tergesa-gesa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi berkata: “Sakiinah (lih. lafaz hadits) adalah tenang
dalam gerakan dan menjauhi main-main. Sedangkan waqaar adalah dalam sikap,
misalnya dengan menundukkan pandangan, merendahkan suara dan tidak menengok,
namun ada yang mengatakan bahwa sakiinah dan waqaar adalah semakna, disebutkan
kata yang kedua hanyalah sebagai penguat.”
7. Masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan dan membaca doa masuk
masjid.
Fathimah binti Rasulullah radhiyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam apabila masuk ke masjid mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِيْ ذُنُوْبِيْ وَافْتَحْ لِيْ اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Dengan nama Allah, salam untuk Rasulullah.
Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu.”
Dan apabila keluar mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِيْ ذُنُوْبِيْ وَافْتَحْ لِيْ اَبْوَابَ فَضْلِكَ
“Dengan nama Allah, salam untuk Rasulullah.
Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah pintu-pintu karunia-Mu.”
(Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi)
8. Melakukan shalat Tahiyatul masjid. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
اِذَا دَخَلَ اَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى
يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
“Apabila salah seorang di antara kamu masuk
masjid, maka janganlah ia duduk sampai mengerjakan shalat dua rak’at.” (HR.
Bukhari, Muslim dll)
9. Tidak melakukan shalat sunat ketika iqamat sudah dikumandangkan. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِذَا اُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ اِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ
“Apabila shalat sudah diiqamatkan, maka tidak
ada lagi shalat selain shalat fardhu.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud)
Oleh karena itu, jika masih baru memulai shalat, maka kita putuskan shalat kita, namun
jika sudah hampir selesai atau sudah rak’at terakhir, maka kita lanjutkan
dengan ringan.
Petunjuk umum shalat berjamaah
1. Hendaknya makmum meluruskan dan merapatkan barisan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ
تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
“Luruskanlah barisan kamu, karena lurusnya
barisan termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
رُصُّوْا صُفُوْفَكُمْ
“Rapatkanlah barisan kamu.” (shahih, HR. Abu
Dawud dan Nasa’i)
2. Makmum wajib mengikuti imam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
« أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا
رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ
أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ ؟ » .
“Tidak takutkah salah seorang di antara kamu?
Jika ia mengangkat kepalanya sebelum imam (mengangkat kepala), akan Allah jadikan
kepalanya seperti kepala keledai atau bentuknya seperti bentuk keledai.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Termasuk tidak mengikuti imam adalah
musaabaqah (mendahului imam), muwaafaqah (bersamaan dengan imam) dan takhalluf
(berlama-lama tidak segera mengikuti imam). Yang benar adalah mutaaba’ah, yakni
mengikuti imam segera setelah imam selesai mengucapkan takbir.
3. Makmum dilarang berdiri di belakang shaf sendirian.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ اَلصَّفِّ
“Tidak ada shalat bagi orang yang berada di
belakang shaf sendirian.” (Shahih, HR. Ibnu Hibban dari Ali bin Syaiban)
Bahkan orang tersebut diperintahkan untuk mengulangi
shalatnya, hal ini jika masih ada celah untuk masuk ke dalam shaf. Namun jika
tidak ada celah, maka tidak mengapa shalat sendirian di belakang shaf.
4. Jika seseorang
berhadats, maka dianjurkan memegang hidungnya, setelah itu ia pun keluar dari
barisan, meskipun harus berjalan di depan makmum yang shalat, karena sutrah makmum
diwakili oleh sutrahnya imam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
اِذَا اَحْدَثَ اَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَأْخُذْ
بِأَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْصَرِفَ
“Apabila
salah seorang di antara kamu berhadats dalam shalatnya, maka hendaknya ia
pegang hidungnya lalu keluar.”(Shahih Abi Dawud 985)
Hikmahnya
adalah agar ia tidak merasa malu keluar dari barisan.
Posisi imam dan makmum
Jika makmum hanya seorang, maka posisinya di sebelah
kanan imam sejajar. Dan jika dua orang atau lebih, maka posisinya di belakang
imam. Jabir radhiyallahu 'anhu berkata:
قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِيُصَلِّيَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَلىَ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِيَدِيْ فَأَدَارَنِيْ
حَتَّى أَقَامَنِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ ثُمَّ جَاءَ جَابِرُ بْنُ صَخْرٍ فَقَامَ عَنْ
يَسَارِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِأَيْدِيْنَا جَمِيْعًا
فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah
berdiri shalat, aku pun datang lalu berdiri
di sebelah kiri Beliau. Maka Beliau pun memegang tanganku dan memutarkanku
(yakni lewat belakang) sehingga menjadikanku berada di sebelah kanannya.
Kemudian Jabir bin Shakhr datang, lalu berdiri di samping kiri Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, maka Beliau memegang tangan kami berdua, lalu menempatkan
kami di belakang Beliau.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dan bila ada seorang wanita atau lebih, maka
ia berdiri di belakang laki-laki. Anas radhiyallahu 'anhu berkata:
فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ ، وَالْعَجُوزُ مِنْ
وَرَائِنَا
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berdiri, aku dan anak yatim pun berdiri di belakang Beliau, sedangkan wanita
tua berdiri di belakang kami.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Syafi’i berkata, “Apabila laki-laki
mengimami seorang laki-laki, maka makmum berdiri di sampingnya. Namun apabila
laki-laki mengimami khuntsa musykil (waria/orang yang memiliki dua kelamin
sejak lahir) atau mengimami wanita, maka orang-orang tersebut berdiri di
belakang, tidak di samping.”
Wanita tidak boleh menjadi imam bagi
laki-laki, ia hanya boleh mengimami kaum wanita juga, dan posisi wanita jika
sebagai imam adalah berdiri di tengah-tengah kaum wanita yang lain dalam sebuah
barisan sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha (HR. Baihaqi,
Hakim dan Daruquthni)
Namun Ibnu Hazm berpendapat bahwa wanita jika
mengimami wanita, maka posisinya di depan makmum wanita.
Tetapi karena ada atsar Aisyah di atas, maka atsar
Aisyah itulah yang kita pegang, wallahu a’lam.
Udzur tidak menghadiri shalat berjamaah
Udzur-udzurnya adalah hujan, sakit yang memberatkan
penderitanya menghadiri shalat berjamaah, makanan sudah dihidangkan, sehabis
makan bawang merah atau putih atau makanan berbau tidak sedap lainnya, didesak
oleh buang air (besar atau kecil), kondisi
tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan kehormatan, dan dalam keadaan safar,
di mana ia khawatir ditinggal rombongan.
Marwan bin Musa
Ass., ana mau bertanya apakah wanita boleh shalat berjamaah diaamping laki laki dengan menggunakan hijab? Mohon penjelasannya.
BalasHapuswassalam,
Ade Saefurrohman